Minggu, 27 Maret 2011

Buku Warkop : Dari Main-Main Jadi Bukan Main

Buku ini penting bagi siapa saja yang tertarik dengan sejarah Indonesia, tak hanya Warkop sebagai kelompok lawak. Itulah yang saya rasa sebagai kekuatan utama Warkop. Dengan wawasan akademis, kepekaan politik dan sosial, dan rasa humor tinggi, Warkop selalu fasih mencatat dan bercerita tentang zaman, dan tentang Indonesia.

image

Selain menjadi penting karena minimnya dokumentasi soal lawak Indonesia, buku ini menjadi berharga akibat sumbang-annya yang, apa boleh buat, tak main-main. Narasumber yang paling tepat, Rudy Badil, bertindak sebagai penulis maupun penyunting. Paling tepat karena mantan wartawan Kompas ini pernah resmi bergabung dalam Warkop sebagai salah satu anggotanya. Pilihan karierlah yang akhirnya membuat Badil (panggilan akrabnya) memisahkan diri dari karib-karibnya yang ditemuinya di kampus UI.
Buku dibuka dengan peng-antar panjang dari Budiarto Shambazy yang menjelaskan muara dan suasana menjelang kemunculan Warkop. Segi politik, sosial dan seni diterangkan secara komprehensif, termasuk setelahnya membahas entitas Warkop secara singkat namun jitu: “Warkop berhasil menangkap perubahan zaman dengan gaya Betawi yang slengean, dengan menyuguhkan satir-satir politik bergaya intelektual, dengan memanfaatkan nyaris semua happening arts - terutama musik.”

Kemudian secara berturut-turut buku dibagi dalam empat bagian, yaitu sejarah yang ditulis oleh Badil, telisik musik oleh Denny Sakrie, telaah film oleh Eddy Suhardy, dan kajian tentang Warkop, lagi-lagi oleh Badil. Kelompok lawak berusia lebih dari 30 tahun ini jelas menjadi kehadiran penting yang telah menyumbang banyak dalam setiap dekade umurnya.

Personel awal Warkop di tahun ’70-an, Badil, Kasino Hadiwibowo, Nanu Mulyono, merasakan awal-awal karier yang manis. Acara malam api unggun Cibubur bersama grup Mapala Universitas Indonesia adalah awal dibentuknya Warkop, kemudian bersama dengan direkrutnya Wahjoe Sardono dan Indrojoyo Kusumonegoro (satu-satunya anggota Warkop yang berasal dari Universitas Pancasila), berlanjut ke studio radio Prambors. Dari situ, format acara Warkop sudah terbentuk, yaitu dialog antarteman yang akrab, penuh guyon dan mengalir, diiringi dengan membawakan lagu-lagu yang dipelesetkan, atau parodi musik yang cemerlang.

Dialog Warkop juga bukan sembarang dialog. Wawasan intelektual serta kepekaan mereka terhadap kehidupan sosial membuat Warkop selalu melontarkan lelucon yang berisi, tidak melulu bergantung pada slapstick atau cemoohan fisik. Justru yang paling sering muncul adalah bentuk satire atau sindiran cerdas pada pemerintah. Sentilan-sentilan berbau politik inilah yang mengangkat Warkop ke level yang berbeda, dibanding grup lawak yang juga menjamur saat itu.

Tak hanya politik, Warkop juga paham betul soal guyonan folklore, atau cerita-cerita lucu yang diangkat dalam bingkai kedaerahan. Dalam bahasa Dono yang berkuliah di jurusan Sosiologi, “Ada stereotipe yang diakui ilmiah secara folklorik.” Ini menjelaskan kenapa kita bisa tertawa hebat tanpa harus merasa tersinggung saat tahu lawakan Kasino, seperti dikutip dari halaman 47, “Pemuda Sunda ini heran, setiap habis belanja, Cina pemilik toko selalu bilang kamsiah, ya, kamsiah. Pemuda ini merasa aneh, lalu bertanya arti kata kamsiah itu. Temannya bilang, ‘Wah lo dibilang haram jadah tuh. Itu kan bahasa makian kasar orang Cina.’ Besok anak Sunda kampungan itu datang ke toko dan beli barang, lalu sebelum disebut kamsiah, dia duluan berkata keras ke Cina pemilik toko itu, ‘Elo, bini elo, anak elo, bapak elo, emak elo, aki elo, nini elo, keponakan elo, encang dan encing semuanya… kamsiah sadayana, ya terima kasih semua.”

Warkop Prambors kemudian berganti nama menjadi Warkop DKI, dan sukses merambah dunia film sampai televisi. Total ada 12 album (kaset), 34 film dan ratusan episode televisi yang telah mereka hasilkan. Kecuali tayangan televisi, semuanya dibahas tuntas di buku ini.

Satu hal yang mencolok dari buku ini adalah gaya bahasa yang otomatis membawa pembaca pada suasana menonton atau mendengar banyolan cerdas a la Warkop. Di sana-sini, tersebar kata-kata yang berpotensi membuat kita tersenyum atau terbahak-bahak sendiri. Misalnya deskripsi kepala Indro yang menggunakan kata “rambutnya belum pupus”, atau soal Mr. Os (tokoh dalam film Jodoh Boleh Diatur) yang “struktur giginya lebih ekstrem dari Dono”.

Anekdot-anekdot sepanjang riwayat Warkop juga bertebar-an di sepanjang buku, membuat pembaca merasa lebih intim dan bisa tahu hal-hal kecil soal mereka. Kita jadi tahu bahwa kejailan para anggota Warkop memang mendarah daging hingga terbawa di kehidupan sehari-hari mereka, seperti Badil yang tiba-tiba memergoki Kasino sedang latihan menyetir mobil dengan kagok, dan Kasino langsung dihujani kata-kata, “Mas, Mas, ban mobilnya kok muter ya. Ei, bannya muter tuh, bahaya tuh!”

Bagian film dan musik juga sama-sama mencerahkan, karena kita bisa tahu bahwa ternyata Warkop pernah didukung oleh musisi-musisi hebat seperti Ian Antono, Farid Hardja, Yockie Suryoprayogo, bahkan sampai Franki Raden. Buku ini hebatnya juga memiliki bonus CD yang diambil dari dua album Warkop, sekaligus melanggengkan semboyan “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”.

Maka buku ini penting bagi siapa saja yang tertarik dengan sejarah Indonesia, tak hanya Warkop sebagai kelompok lawak. Itulah yang saya rasa sebagai kekuatan utama Warkop. Dengan wawasan akademis, kepekaan politik dan sosial, dan rasa humor tinggi, Warkop selalu fasih mencatat dan bercerita tentang zaman, dan tentang Indonesia.
Sumber :  rollingstone.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar